Selamat Datang ,Dan Selamat Membaca, Enjoyy :)

Wednesday 25 September 2013

Menikmati Pantai Nemberala di Timur Indonesia

Nemberala dan surfing adalah pasangan yang serasi. Coba saja ketik ‘Nemberala’ pada search engine di internet, anda akan temukan ratusan link yang berhubungan dengan kegiatan surfing / berselancar. Wow.. I just feel so lucky to be here!

Pantai Nemberala, Rote. (Foto: Arinta)

Desa kecil yang terletak di sebelah barat daya Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur ini memiliki kawasan pantai dengan karakteristik gulungan ombak yang mampu memompa adrenalin jiwa-jiwa challenger penggemar selancar. Turnamen surfing bertaraf internasional pun menjadi agenda rutin tahunan yang mampu menarik datangnya peselancar asing untuk menjajal kemampuannya menari di atas ombak pantai Nemberala.

Beningnya air di pantai Nemberala. (Foto: Arinta)

Bulan September merupakan musim ombak yang paling bagus sehingga biasanya aktivitas pariwisata di Nemberala lebih semarak dibanding bulan-bulan yang lain. Provider surfing saling berlomba menawarkan paket liburan olah raga air, penginapan sudah dipastikan fully booked, bahkan rental kendaraan pun harus menolak orderan karena armadanya sudah habis disewa pengunjung.
Saya berkunjung ke Nemberala bukan di musim yang tepat. Meski belum bisa membuktikan ombak Nemberala yang tersohor itu, saya tetap bisa menikmati pesona lain dari tempat istimewa ini.

Menuju Nemberala

Untuk sampai di Desa Nemberala, dari Kupang saya harus menyeberang ke Baa, ibu kota Kabupaten Rote Ndao. Baru kemudian melanjutkan perjalanan darat dengan mobil. Ada dua alternatif penyeberangan laut dari Kupang ke Baa, yaitu dengan menggunakan kapal feri ASDP atau kapal cepat yang bertolak dari pelabuhan Tenau – Kupang.

Saya memilih menggunakan kapal cepat Bahari Express dengan pertimbangan lebih hemat waktu. Hanya perlu waktu 2 jam menyeberang ke Baa dibandingkan menggunakan kapal feri dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Tidak ada keterlambatan pemberangkatan dari Kupang. Kapal berangkat sesuai jadwal, pukul 09.00 WITA. Dengan tiket VIP seharga Rp160.000 saya mendapat kenyamanan ruang ber-AC, TV layar lebar yang waktu itu memutar film karate, kudapan pengganjal perut, dan yang paling penting goyangan ombak tidak terlalu berasa sehingga terbebas dari mabuk laut.

Perjalanan ke pulau Rote memang melewati perairan yang merupakan pertemuan arus samudera Hindia, laut Sawu dan laut Timor. Selama perjalanan akan ada guncangan yang cukup sering dan besar yang terasa dari atas kapal sehingga bisa memicu mabuk laut bagi yang tidak tahan. Penyeberangan Kupang-Rote sangat tergantung pada kondisi arus pertemuan tersebut dan juga cuaca, bila tidak memungkinkan biasanya penyeberangan ditutup sementara untuk alasan keselamatan.

Tepat pukul 11.00 WITA  kapal tiba di pelabuhan Baa. Tampak penumpang, penjemput, dan porter lalu lalang. Porter di pelabuhan Baa cukup unik karena mereka menggunakan gerobak kayu untuk membantu mengangkut koper dan barang-barang lain. Di luar jembatan dermaga tepatnya di area parkiran, sudah tampak berjajar antrean angkutan pedesaan yang oleh penduduk lokal disebut dolo rossa.

Can we share the taxi?” tanya seorang lelaki bule kepada saya. Dengan menggunakan dolo rossa yang saya sewa patungan bersama dengan Tom, bule asal Australia itu, kami menempuh perjalanan selama 1 jam 20 menit untuk sampai di desa Nemberala. Selama perjalanan, Tom banyak bercerita mengenai Nemberala, baik pantainya, aktivitas surfing, info hotel maupun tempat makan yang tersedia di sana. Bahkan ia juga hafal jadwal operasional suatu tempat makan yang memang tidak banyak tersedia di Nemberala.

Para nelayan menjaring ikan-ikan kecil. Gerak-gerik mereka seperti tarian indah. (Foto: Arinta)
Para nelayan menjaring ikan-ikan kecil. Gerak-gerik mereka seperti tarian indah.

Rupanya Tom sudah begitu mengenal baik area Rote, khususnya Nemberala. Tenyata sudah sejak 8 tahun yang lalu, ia sering bolak balik Australia-Rote dengan periode kunjungan yang cukup lama. Bahkan saat ini ia juga mendirikan cottage pribadi di tepi pantai demi kecintaannya pada ombak Nemberala dan surfing. Kawan-kawan Tom dari komunitas pecinta surfing kabarnya juga sering berkunjung ke Nemberala karena terpikat dengan gulungan ombaknya. Setelah beberapa lama perjalanan, Tom sudah lebih dulu tiba di cottage-nya. Sebelum turun dari mobil, ia berpamitan dan menjabat tangan saya seraya berkata “I just feel so lucky to be here” dengan mata yang berbinar-binar. Wiiiih, saya jadi semakin antusias dengan Nemberala.

Butiran pasir di Pantai Nemberala, mirip merica. (Foto: Arinta)
Butiran pasir di Pantai Nemberala, mirip merica. 

Jalanan yang sedang diperbaiki dan berdebu siang itu tidak menyurutkan semangat saya untuk bersenang-senang di pantai Nemberala. Dari halaman belakang penginapan saya saja,  sudah bisa melihat pemandangan laut dengan garis pantai yang panjang.  Banyak pohon kelapa di sisi-sisinya, air tampak bening dan biru berkilauan diterpa sinar matahari, serta pasirnya putih dengan butiran mirip merica. Hmm, tidak salah memang bila banyak hati yang tertambat oleh keindahan alam yang ada, seperti layaknya Tom.

Nemberala yang indah

Penginapan di Nemberala kebanyakan berupa resort dan homestay dengan harga sewa yang bervariasi mulai dari yang murah meriah sampai dengan yang dipatok harga ratusan dollar per malam. Selain kamar, rata-rata penginapan di Nemberala sudah sekaligus menyediakan makan 3 kali sehari dengan menu yang bervariasi dan enak di lidah saya yang memang doyan makan.

Anak-anak bermain lepas di Pantai Nemberala. (Foto: Arinta)
Anak-anak bermain lepas di Pantai Nemberala.

Menu makan siang itu ialah kerapu kukus yang terasa segar.  Usai makan di penginapan, siang itu saya menghabiskan waktu untuk memanjakan mata dan jiwa dengan menikmati alam pantai Nemberala. Tidak jauh dari saya berdiri, anak-anak kecil terlihat saling memamerkan kebolehan lompat indah dari atas kapal dan beradu renang. Senang rasanya melihat mereka, kebahagiaan yang sederhana. Tiba-tiba saya mendengar suara air berkecipuk dan melihat ada beberapa nelayan yang sedang menari-nari membuat riak-riak di perairan yang tidak terlalu dalam. Rupanya mereka sedang berusaha menggiring ikan-ikan kecil untuk masuk ke dalam jala yang sudah ditebar sebelumnya. Unik, membuat saya juga ingin menari-nari di atas air, apalagi para nelayan itu juga mengeluarkan suara-suara khusus yang beradu dengan riak air, seperti nyanyian pemanggil ikan. Saat senja tiba, langit berubah dramatis, perlahan putih biru digantikan dengan semburat merah kekuningan. Maha besar Allah atas semua kuasany.

Petani rumput laut saat senja di Nemberala. (Foto: Arinta)
Petani rumput laut saat senja di Nemberala.

Karena tidak sedang musim ombak, maka tidak banyak orang yang berselancar. Senja itu hanya terlihat beberapa anak lokal yang berjalan ke tengah laut yang tengah surut sambil membawa papan surfing untuk mencari ombak yang lebih tinggi. Sementara itu, beberapa warga terlihat sibuk memanen rumput laut yang memang dibudidayakan di sekitar pantai yang sore itu surut. Pasirnya tampak membentuk gundukan seperti parit-parit kecil yang dialiri air. Di sudut lain, karena listrik baru menyala jam 6 malam, beberapa warga terlihat menghabiskan waktu untuk bercengkerama menikmati suasana, ada pula yang menyanyi bersama sampai matahari menghilang di ufuk barat. Sore itu kami sama-sama menyesapi lukisan Tuhan yang begitu indah di Nemberala. I just feel so lucky to be here, bisik saya.


No comments:

Post a Comment