Selamat Datang ,Dan Selamat Membaca, Enjoyy :)

Wednesday, 25 September 2013

Travelling ke Kota Tambang Sawahlunto

Siapa tak kenal Sawahlunto? Sejak saya masih duduk di bangku SD, nama Sawahlunto sudah terkenal sebagai daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia.
Tetapi itu sudah lama sekali. Sekarang Sawahlunto berubah haluan, dari sebuah daerah tambang batu bara menjadi objek wisata tambang yang menarik.

Rumah Pek Sin Kek

Rumah milik pengusaha sukses Tionghoa ini dibangun pada tahun 1906. Ketika itu, Pek Sin Kek bermukim dan membangun tempat usaha di pusat kota Sawahlunto.
Sejarah dibalik Rumah Pek Sin Kek, yakni di masa lalu tempat tersebut pernah dipakai sebagai Gedung Teater, tempat Perhimpunan Masyarakat Melayu, dan pabrik es.
Usai diremajakan pada 2005-2006, Rumah Pek Sin Kek berubah menjadi toko suvenir. Di tempat tersebut, wisatawan bisa belanja oleh-oleh sambil menikmati kekhasan arsitektur rumah tersebut.
Lokasi Rumah Pek Sin Kek tidak jauh dari pasar di Kota Sawahlunto dan mudah sekali dikenali. Sebelum berkunjung ke Rumah Pek Sin Kek, saya sempat mencari kuliner khas kota tambang di pasar tradisional tersebut.

Gedung Pusat Kebudayaan. Foto: Romelos
Gedung Pusat Kebudayaan. 

Gedung Pusat Kebudayaan

Dikenal dengan nama Gluck Auf, bangunan seluas 870 meter persegi yang berdiri di Sawahlunto sejak 1910 tersebut dulunya berfungsi sebagai gedung pertemuan alias Gedung Societeit. Gedung ini sempat juga dijuluki Rumah Bola, sebab di sana para pejabat tambang Belanda biasa main bowling dan biliar.
Pada 1 Desember 2006, Gluck Auf diremajakan dan berfungsi sebagai Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto.
Lokasi Gedung Pusat Kebudayaan tidak jauh dari Rumah Pek Sin Kek dan sejurusan dengan pusat kota. Puas mengambil foto di seputaran Gedung Pusat Kebudayaan, saya meneruskan perjalanan ke lokasi berikutnya. Yakni lubang tambang Mbah Soero.

Lubang Mbah Soero

Ini dia lubang tambang yang terkenal di Sawahlunto. Untuk masuk ke sana, pengunjung wajib mendaftar dan membeli tiket di Gedung Info Box. Pada tahun 1947, Gedung Info Box adalah Gedung Pertemuan Buruh dan berbagai aktivitas digelar di sana. Mulai dari pertemuan karyawan hingga hiburan wayang kulit dan pemutaran layar tancep seusai gajian. Sekarang, gedung tersebut berfungsi sebagai pusat informasi wisata ke lubang tambang Mbah Soero. 
Helm dan sepatu safety sudah terpasang dengan sempurna, petualangan turun ke lubang Mbah Soero pun dimulai. Pemandu memberi tahu saya tentang hal-hal yang akan dijumpai di dalam dan beberapa aturan dan pantangan yang harus dipatuhi. Hemmm ….
Lubang tambang Mbah Soero adalah lubang pertama yang dibuka pada 1898. Lubang tersebut dinamakan demikian sebab dulunya yang mengawasi adalah Mandor Soero. Ia disegani oleh buruh dan masyarakat sekitar.
Karena nilai sejarahnya tinggi, mulai 2007 lubang tambang tersebut terbuka untuk wisatawan. Selain itu, ada pula galeri foto dan pemutaran film tentang sejarah tambang. Di akhir kunjungan, wisatawan yang berkunjung akan memperoleh sertifikat.

Gudang Ransum

Lokasinya tidak jauh dari lubang tambang Mbah Soero. Saya berusaha menahan perut yang sudah keroncongan demi mengikuti tur singkat di Gudang Ransum.
Kompleks Gudang Ransum rapi, bersih, dan layak untuk dikunjungi. Dulunya, Gudang Ransum adalah dapur umum yang dibangun pemerintah kolonial Belanda. Dibangun pada 1918, dapur tersebut bertugas menyiapkan makanan bagi pekerja tambang batu bara dan pasien rumah sakit.
Pada awal tur, saya disuguhi video singkat tentang kompleks tersebut. Di dalam Gudang Ransum, wisatawan masih bisa melihat ketel pemanas peninggalan masa lampau. Ada juga foto-foto dan peninggalan lain yang tersusun rapi dan dilengkapi keterangan yang sangat informatif.
Selain ada Gudang Ransum, di kompleks yang sama juga terdapat Galeri Etnografi yang menyimpan informasi tentang tradisi, pakaian, makanan, dan gaya hidup masyarakat di Sawahlunto. Dan, sempatkan juga berkunjung ke Galeri Malaka – yang menyimpan sejarah dan informasi pariwisata tentang Malaka – dan IPTEK Centre.

Museum Kereta Api. Foto: Romelos
Museum Kereta Api. 

Museum Kereta Api

Selepas makan siang, saya berkunjung ke Museum Kereta Api yang terletak di atas Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto.
Museum ini menyatu dengan stasiun kereta api yang masih beroperasi hingga saat ini. Sebuah peta wisata berukuran besar terpampang di salah satu dinding stasiun. Umbul-umbul warna-warni yang memuat informasi wisata juga tampak menjuntai dari plafon stasiun. Seonggok mesin tua tergeletak di hadapan, menambah kesan tua pada stasiun tersebut.
Museum Kereta Api dulunya adalah stasiun kereta yang dibangun Belanda pada 1918. Stasiun tersebut jadi saksi bisu eksploitasi mutiara hitam dari perut Sawahlunto. Dengan lokomotif uap, batubara diangkut menuju Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) mulai tahun 1894.
Stasiun berdiri dari hasil kerja paksa orang-orang jajahan pada masa itu, atau dikenal dengan nama orang rantai. Pada bagian dalam museum ada banyak literatur, foto, dan peninggalan alat kereta api yang digunakan pada masa lampau. Umurnya sudah lebih dari 100 tahun.
Saat saya berkunjung ke sana, Mak Itam – salah satu lokomotif yang dipakai untuk wisata keliling Sawahlunto – dikandangkan dalam hanggar karena sedang masuk perawatan. Gagal impian berkeliling Sawahlunto dengan Mak Itam. Suatu saat mungkin mimpi itu terwujud, ya suatu saat.

Satwa di Resort Kandi. Foto: Romelos
Satwa di Resort Kandi. 

Taman Satwa Kandi

Selain menikmati sejarah tambang, di Sawahlunto wisatawan juga bisa berkunjung ke Taman Satwa Kandi atau Resort Kandi. Berjarak sekitar 14 kilometer ke luar kota, saya bergegas menuju lokasi. Sebab, Resort Kandi biasa tutup pukul 17.00. Beberapa satwa yang ada bukan satwa asli Indonesia, contohnya kanguru.
Beberapa satwa di sana kelihatan menyedihkan. Dari rautnya tampak kesepian, mudah-mudahan ini tidak berlangsung lama. Selain koleksi satwa yang tersebar di beberapa area, di lokasi tersebut terdapat juga Danau Tandikek. Wisatawan bisa memanfaatkan wahana permainan air yang disediakan pengelola. Seperti perahu naga, banana boat, dan sepeda air.

Silo. Foto: Romelos
Silo.

Silo

Kembali ke pusat kota, perjalanan saya berlanjut ke Silo. Bangunan yang terdiri atas tiga silinder besar yang menjulang tinggi tersebut adalah simbol kejayaan Kota Sawahlunto di masa lalu. Silo adalah tempat penyimpanan batubara. Masing-masing terhubung dengan sebuah conveyor dan berakhir di sebuat pit pengumpulan.
Sekarang Silo tidak digunakan lagi dan dijadikan landmark Kota Sawahlunto. Kunjungan ke Silo menutup hari di Kota Sawahlunto. Sebenarnya masih banyak atraksi lain yang dapat dikunjungi, antara lain Masjid Agung, Gedung Koperasi Ombilin, dan Gereja St Barbara. Tetapi saya terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan dan memutuskan kembali ke penginapan. Suatu saat, saya ingin kembali lagi ke Kota Sawahlunto untuk menyelesaikan PR yang tertunda.

No comments:

Post a Comment