Tetapi itu sudah lama sekali. Sekarang Sawahlunto berubah haluan, dari sebuah daerah tambang batu bara menjadi objek wisata tambang yang menarik.
Rumah Pek Sin Kek
Rumah milik pengusaha sukses Tionghoa ini dibangun pada tahun 1906. Ketika itu, Pek Sin Kek bermukim dan membangun tempat usaha di pusat kota Sawahlunto.Sejarah dibalik Rumah Pek Sin Kek, yakni di masa lalu tempat tersebut pernah dipakai sebagai Gedung Teater, tempat Perhimpunan Masyarakat Melayu, dan pabrik es.
Usai diremajakan pada 2005-2006, Rumah Pek Sin Kek berubah menjadi toko suvenir. Di tempat tersebut, wisatawan bisa belanja oleh-oleh sambil menikmati kekhasan arsitektur rumah tersebut.
Lokasi Rumah Pek Sin Kek tidak jauh dari pasar di Kota Sawahlunto dan mudah sekali dikenali. Sebelum berkunjung ke Rumah Pek Sin Kek, saya sempat mencari kuliner khas kota tambang di pasar tradisional tersebut.
Gedung Pusat Kebudayaan
Dikenal dengan nama Gluck Auf, bangunan
seluas 870 meter persegi yang berdiri di Sawahlunto sejak 1910 tersebut
dulunya berfungsi sebagai gedung pertemuan alias Gedung
Societeit. Gedung ini sempat juga dijuluki Rumah Bola, sebab di sana
para pejabat tambang Belanda biasa main bowling dan biliar.
Pada 1 Desember 2006, Gluck Auf diremajakan dan berfungsi sebagai Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto.
Lokasi Gedung Pusat Kebudayaan tidak
jauh dari Rumah Pek Sin Kek dan sejurusan dengan pusat kota. Puas
mengambil foto di seputaran Gedung Pusat Kebudayaan, saya meneruskan
perjalanan ke lokasi berikutnya. Yakni lubang tambang Mbah Soero.
Lubang Mbah Soero
Ini dia lubang tambang yang terkenal di
Sawahlunto. Untuk masuk ke sana, pengunjung wajib mendaftar dan membeli
tiket di Gedung Info Box. Pada tahun 1947, Gedung Info Box adalah Gedung
Pertemuan Buruh dan berbagai aktivitas digelar di sana. Mulai
dari pertemuan karyawan hingga hiburan wayang kulit dan pemutaran layar
tancep seusai gajian. Sekarang, gedung tersebut berfungsi sebagai pusat
informasi wisata ke lubang tambang Mbah Soero.
Helm dan sepatu safety sudah terpasang
dengan sempurna, petualangan turun ke lubang Mbah Soero pun dimulai.
Pemandu memberi tahu saya tentang hal-hal yang akan dijumpai di dalam
dan beberapa aturan dan pantangan yang harus dipatuhi. Hemmm ….
Lubang tambang Mbah Soero adalah lubang
pertama yang dibuka pada 1898. Lubang tersebut dinamakan demikian sebab
dulunya yang mengawasi adalah Mandor Soero. Ia disegani oleh buruh dan
masyarakat sekitar.
Karena nilai sejarahnya tinggi, mulai
2007 lubang tambang tersebut terbuka untuk wisatawan. Selain itu, ada
pula galeri foto dan pemutaran film tentang sejarah tambang. Di akhir
kunjungan, wisatawan yang berkunjung akan memperoleh sertifikat.
Gudang Ransum
Lokasinya tidak jauh dari lubang tambang
Mbah Soero. Saya berusaha menahan perut yang sudah keroncongan demi
mengikuti tur singkat di Gudang Ransum.
Kompleks Gudang Ransum rapi, bersih, dan
layak untuk dikunjungi. Dulunya, Gudang Ransum adalah dapur umum yang
dibangun pemerintah kolonial Belanda. Dibangun pada 1918, dapur tersebut
bertugas menyiapkan makanan bagi pekerja tambang batu bara dan pasien
rumah sakit.
Pada awal tur, saya disuguhi video
singkat tentang kompleks tersebut. Di dalam Gudang Ransum, wisatawan
masih bisa melihat ketel pemanas peninggalan masa lampau. Ada juga
foto-foto dan peninggalan lain yang tersusun rapi dan dilengkapi
keterangan yang sangat informatif.
Selain ada Gudang Ransum, di kompleks
yang sama juga terdapat Galeri Etnografi yang menyimpan informasi
tentang tradisi, pakaian, makanan, dan gaya hidup masyarakat di
Sawahlunto. Dan, sempatkan juga berkunjung ke Galeri Malaka – yang
menyimpan sejarah dan informasi pariwisata tentang Malaka – dan IPTEK
Centre.
Museum Kereta Api
Selepas makan siang, saya berkunjung ke Museum Kereta Api yang terletak di atas Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto.
Museum ini menyatu dengan stasiun kereta
api yang masih beroperasi hingga saat ini. Sebuah peta wisata berukuran
besar terpampang di salah satu dinding stasiun. Umbul-umbul warna-warni
yang memuat informasi wisata juga tampak menjuntai dari plafon stasiun.
Seonggok mesin tua tergeletak di hadapan, menambah kesan tua pada
stasiun tersebut.
Museum Kereta Api dulunya adalah stasiun
kereta yang dibangun Belanda pada 1918. Stasiun tersebut jadi saksi
bisu eksploitasi mutiara hitam dari perut Sawahlunto. Dengan lokomotif
uap, batubara diangkut menuju Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) mulai
tahun 1894.
Stasiun berdiri dari hasil kerja paksa
orang-orang jajahan pada masa itu, atau dikenal dengan nama orang
rantai. Pada bagian dalam museum ada banyak literatur, foto, dan
peninggalan alat kereta api yang digunakan pada masa lampau. Umurnya
sudah lebih dari 100 tahun.
Saat saya berkunjung ke sana, Mak Itam –
salah satu lokomotif yang dipakai untuk wisata keliling Sawahlunto –
dikandangkan dalam hanggar karena sedang masuk perawatan. Gagal impian
berkeliling Sawahlunto dengan Mak Itam. Suatu saat mungkin mimpi itu
terwujud, ya suatu saat.
Taman Satwa Kandi
Selain menikmati sejarah tambang, di
Sawahlunto wisatawan juga bisa berkunjung ke Taman Satwa Kandi atau
Resort Kandi. Berjarak sekitar 14 kilometer ke luar kota, saya bergegas
menuju lokasi. Sebab, Resort Kandi biasa tutup pukul 17.00. Beberapa
satwa yang ada bukan satwa asli Indonesia, contohnya kanguru.
Beberapa satwa di sana kelihatan
menyedihkan. Dari rautnya tampak kesepian, mudah-mudahan ini tidak
berlangsung lama. Selain koleksi satwa yang tersebar di beberapa area,
di lokasi tersebut terdapat juga Danau Tandikek. Wisatawan bisa
memanfaatkan wahana permainan air yang disediakan pengelola. Seperti
perahu naga, banana boat, dan sepeda air.
Silo
Kembali ke pusat kota, perjalanan saya
berlanjut ke Silo. Bangunan yang terdiri atas tiga silinder besar yang
menjulang tinggi tersebut adalah simbol kejayaan Kota Sawahlunto di masa
lalu. Silo adalah tempat penyimpanan batubara. Masing-masing terhubung
dengan sebuah conveyor dan berakhir di sebuat pit pengumpulan.
Sekarang Silo tidak digunakan lagi dan
dijadikan landmark Kota Sawahlunto. Kunjungan ke Silo menutup hari di
Kota Sawahlunto. Sebenarnya masih banyak atraksi lain yang dapat
dikunjungi, antara lain Masjid Agung, Gedung Koperasi Ombilin, dan
Gereja St Barbara. Tetapi saya terlalu lelah untuk melanjutkan
perjalanan dan memutuskan kembali ke penginapan. Suatu saat, saya ingin
kembali lagi ke Kota Sawahlunto untuk menyelesaikan PR yang tertunda.
No comments:
Post a Comment