Selamat Datang ,Dan Selamat Membaca, Enjoyy :)

Tuesday, 24 September 2013

Golden Sunrise sempurna di Bukit Sikunir, Dieng

Pagi itu kabut tebal menyelimuti Dataran Tinggi Dieng. Dinginnya menelusup hingga ke balik pintu dan jendela rumah, membuat warga desa tertidur dengan lelap. Suasana begitu hening, bahkan ayam pun enggan berkokok karena dingin. Namun demi menyaksikan sunrise berlatarkan Gunung Sindoro Sumbing nan megah, saya pun memantapkan hati untuk memulai perjalanan dari Desa Dieng Kulon menuju Bukit Sikunir.


Selamat Pagi Semesta

Terletak di Desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa (2.350 m dpl), Bukit Sikunir merupakan salah satu spot terbaik untuk menyaksikan terbitnya mentari di ufuk timur. Dari Kompleks Candi Arjuna, Dieng, desa ini bisa dicapai dengan 15 menit berkendara. Jika dari Kota Wonosobo, maka Desa Sembungan bisa dicapai sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan kendaraan pribadi.

Jalan berkelok dengan aspal yang tak lagi mulus menyambut perjalanan kami di pagi buta. Bukit dan jurang yang ada di kanan kiri jalan serta kabut tebal yang melingkupi membuat kami harus ekstra hati-hati dalam memacu kendaraan. Tak berapa lama kami tiba di Desa Sembungan yang terletak tepat di tepi Telaga Cebong. Subuh itu, permukaan telaga diselimuti kabut tipis yang nampak berkilau terkenal pantulan cahaya bulan dan lampu dari rumah-rumah warga.

Kendaraan diparkir di tepi Telaga Cebong. Rupanya kami menjadi kelompok pertama yang tiba di Desa Sembungan. “Kalau hari biasa memang tidak ramai, tapi kalau Sabtu Minggu atau pas liburan biasanya parkiran ini penuh. Kadang ada pengunjung yang kemah di pinggir telaga atau di atas bukit,” terang guide kami, Sumardi.

Berbeda dengan sunrise di Penanjakan dan Bromo yang sudah sangat populer di kalangan wisatawan, sunrise di Bukit Sikunir belum terlalu dikenal oleh para traveler. Namun hal itu justru menguntungkan, karena saya jadi bisa menikmati momen munculnya mentari keemasan dari balik gunung-gemunung yang bertudungkan kabut tanpa harus berdesak-desakan dengan pengunjung lain.

Untuk menyaksikan sunrise wisatawan harus membayar biaya retribusi sebesar Rp 5.000 per orang, kemudian treking mendaki Bukit Sikunir yang terletak di sebelah Telaga Cebong. Jalan setapak berbatu yang mengitari bukit menjadi rute yang harus dilewati. Siapapun harus berhati-hati, sebab di sisi kiri merupakan jurang yang cukup dalam. Karena itu senter menjadi peralatan yang wajib dibawa.

Trek menuju Bukit Sikunir

Berjalan menyusuri punggungan bukit yang terjal ditemani cahaya senter menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi ditambah suhu yang berada dalam kisaran angka 10-15o C serta angin yang menampar-nampar wajah membuat treking ini menguras energi. Namun perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit ini terbayar lunas jika sudah tiba di atas bukit dan berganti dengan decak kagum.

Ada 2 tempat yang bisa digunakan untuk menyaksikan sunrise dari Sikunir. Yang pertama berjarak sekitar 20 menit dari Telaga Cebong jika berjalan pelan. Pemberhentian ini dilengkapi dengan gazebo dan kursi dari batang-batang pohon yang bisa digunakan untuk duduk. Biasanya, wisatawan yang tak sanggup untuk naik ke puncak memilih menyaksikan sunrise dari tempat ini.

Awalnya saya sempat berpikir untuk berhenti di sini. Namun ajakan kawan untuk terus naik membuat saya mengurungkan niat dan kembali melanjutkan perjalanan di antara pohon-pohon pinus. Rupanya tak sampai 15 menit berjalan dari pemberhentian pertama, saya telah tiba di puncak.

Jam di ponsel menunjukkan pukul 05.00 WIB saat saya menjejak di puncak. Semesta masih terlihat gelap. Tapi tak berapa lama, selarik warna jingga membelah langit menjadi 2 bagian. Bagian bawah tetap gelap, sedangkan bagian atas mulai berubah dari pekat menjadi biru tua lantas bergerak menjadi biru muda. Siluet gunung-gemunung yang berdiri dengan gagahnya pun mulai terlihat jelas.

Golden Sunrise Bukit Sikunir

Setengah jam kemudian, bola kecil berwarna merah mulai muncul dari balik horizon. Semakin lama semakin naik dan semakin membesar. Warnanya pun berubah menjadi keemasan dan pendarnya membias ke segala penjuru. Sejenak saya tercekat kehabisan kata. Ini adalah momen sunrise terindah yang pernah saya lihat. Benar kata orang-orang bahwa saat paling bagus untuk menikmati sunrise di Sikunir adalah bulan Juni hingga September. Saya beruntung bisa menyaksikan golden sunrise yang sempurna.

Puas menyaksikan sunrise, saya tak lantas turun melainkan mengeksplorasi puncak bukit yang ternyata luas dan terbagi menjadi beberapa bagian. Selain ada spot untuk menyaksikan sunrise, di puncak Sikunir juga terdapat camping ground yang dikelilingi pohon pinus serta tempat untuk menyaksikan Telaga Cebong yang dikelilingi perumahan warga serta bukit-bukit menjulang berselimut kabut tipis. Bukit-bukit tersebut merupakan areal pertanian warga yang ditanami wortel, kentang, kubis, hingga pepaya khas Dieng yang dikenal dengan nama Carica.

Telaga Cebong dilihat dari puncak Sikunir

“Telaga itu dinamakan Telaga Cebong karena bentuknya seperti kecebong,” jelas Mas Sumardi sambil menunjuk ke arah telaga yang terlihat jelas dari ketinggian. Ya, sepintas lihat telaga ini memang mirip dengan bentuk bayi katak. Sayang saya datang saat warga baru saja panen sehingga tanah nampak gersang karena belum ditanami lagi.

Selain Bukit Sikunir, Telaga Cebong memang menjadi pesona wisata sendiri di Desa Sembungan. Tak heran jika salah satu band indie yang cukup terkenal di Indonesia, Float, terpesona dengan eksotisme telaga ini sehingga menjadikannya sebagai lokasi konser Float2Nature tahun lalu
.
Tak salah jika Float memilih Desa Sembungan sebagai lokasi konser mereka yang mengusung tema kembali ke alam. Desa tertinggi di Pulau Jawa ini tidak hanya memiliki lanskap alam nan eksotis dan udara bersih bebas polusi, namun juga menjanjikan ketenangan jiwa yang bisa didapatkan dari senyum ramah para petani kentang serta bocah-bocah kecil yang ditemui di sepanjang jalan. Menyambut pagi di desa tertinggi Pulau Jawa ini benar-benar memompa energi dan semangat saya untuk siap menghadapi hari baru.

No comments:

Post a Comment