Pagi itu kabut tebal menyelimuti Dataran Tinggi Dieng. Dinginnya
menelusup hingga ke balik pintu dan jendela rumah, membuat warga desa
tertidur dengan lelap. Suasana begitu hening, bahkan ayam pun enggan
berkokok karena dingin. Namun demi menyaksikan sunrise berlatarkan
Gunung Sindoro Sumbing nan megah, saya pun memantapkan hati untuk
memulai perjalanan dari Desa Dieng Kulon menuju Bukit Sikunir.
Terletak di Desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di Pulau
Jawa (2.350 m dpl), Bukit Sikunir merupakan salah satu spot terbaik
untuk menyaksikan terbitnya mentari di ufuk timur. Dari Kompleks Candi
Arjuna, Dieng, desa ini bisa dicapai dengan 15 menit berkendara. Jika
dari Kota Wonosobo, maka Desa Sembungan bisa dicapai sekitar 1,5 jam
perjalanan menggunakan kendaraan pribadi.
Jalan berkelok dengan aspal yang tak lagi mulus menyambut perjalanan
kami di pagi buta. Bukit dan jurang yang ada di kanan kiri jalan serta
kabut tebal yang melingkupi membuat kami harus ekstra hati-hati dalam
memacu kendaraan. Tak berapa lama kami tiba di Desa Sembungan yang
terletak tepat di tepi Telaga Cebong. Subuh itu, permukaan telaga
diselimuti kabut tipis yang nampak berkilau terkenal pantulan cahaya
bulan dan lampu dari rumah-rumah warga.
Kendaraan diparkir di tepi Telaga Cebong. Rupanya kami menjadi
kelompok pertama yang tiba di Desa Sembungan. “Kalau hari biasa memang
tidak ramai, tapi kalau Sabtu Minggu atau pas liburan biasanya parkiran
ini penuh. Kadang ada pengunjung yang kemah di pinggir telaga atau di
atas bukit,” terang guide kami, Sumardi.
Berbeda dengan sunrise di Penanjakan dan Bromo yang sudah sangat
populer di kalangan wisatawan, sunrise di Bukit Sikunir belum terlalu
dikenal oleh para traveler. Namun hal itu justru menguntungkan, karena
saya jadi bisa menikmati momen munculnya mentari keemasan dari balik
gunung-gemunung yang bertudungkan kabut tanpa harus berdesak-desakan
dengan pengunjung lain.
Untuk menyaksikan sunrise wisatawan harus membayar biaya retribusi
sebesar Rp 5.000 per orang, kemudian treking mendaki Bukit Sikunir yang
terletak di sebelah Telaga Cebong. Jalan setapak berbatu yang mengitari
bukit menjadi rute yang harus dilewati. Siapapun harus berhati-hati,
sebab di sisi kiri merupakan jurang yang cukup dalam. Karena itu senter
menjadi peralatan yang wajib dibawa.
Berjalan menyusuri punggungan bukit yang terjal ditemani cahaya
senter menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi ditambah suhu yang
berada dalam kisaran angka 10-15o C serta angin yang
menampar-nampar wajah membuat treking ini menguras energi. Namun
perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit ini terbayar lunas jika
sudah tiba di atas bukit dan berganti dengan decak kagum.
Ada 2 tempat yang bisa digunakan untuk menyaksikan sunrise dari
Sikunir. Yang pertama berjarak sekitar 20 menit dari Telaga Cebong jika
berjalan pelan. Pemberhentian ini dilengkapi dengan gazebo dan kursi
dari batang-batang pohon yang bisa digunakan untuk duduk. Biasanya,
wisatawan yang tak sanggup untuk naik ke puncak memilih menyaksikan
sunrise dari tempat ini.
Awalnya saya sempat berpikir untuk berhenti di sini. Namun ajakan
kawan untuk terus naik membuat saya mengurungkan niat dan kembali
melanjutkan perjalanan di antara pohon-pohon pinus. Rupanya tak sampai
15 menit berjalan dari pemberhentian pertama, saya telah tiba di puncak.
Jam di ponsel menunjukkan pukul 05.00 WIB saat saya menjejak di
puncak. Semesta masih terlihat gelap. Tapi tak berapa lama, selarik
warna jingga membelah langit menjadi 2 bagian. Bagian bawah tetap gelap,
sedangkan bagian atas mulai berubah dari pekat menjadi biru tua lantas
bergerak menjadi biru muda. Siluet gunung-gemunung yang berdiri dengan
gagahnya pun mulai terlihat jelas.
Setengah jam kemudian, bola kecil berwarna merah mulai muncul dari
balik horizon. Semakin lama semakin naik dan semakin membesar. Warnanya
pun berubah menjadi keemasan dan pendarnya membias ke segala penjuru.
Sejenak saya tercekat kehabisan kata. Ini adalah momen sunrise terindah
yang pernah saya lihat. Benar kata orang-orang bahwa saat paling bagus
untuk menikmati sunrise di Sikunir adalah bulan Juni hingga September.
Saya beruntung bisa menyaksikan golden sunrise yang sempurna.
Puas menyaksikan sunrise, saya tak lantas turun melainkan
mengeksplorasi puncak bukit yang ternyata luas dan terbagi menjadi
beberapa bagian. Selain ada spot untuk menyaksikan sunrise, di puncak Sikunir juga terdapat camping ground
yang dikelilingi pohon pinus serta tempat untuk menyaksikan Telaga
Cebong yang dikelilingi perumahan warga serta bukit-bukit menjulang
berselimut kabut tipis. Bukit-bukit tersebut merupakan areal pertanian
warga yang ditanami wortel, kentang, kubis, hingga pepaya khas Dieng
yang dikenal dengan nama Carica.
“Telaga itu dinamakan Telaga Cebong karena bentuknya seperti
kecebong,” jelas Mas Sumardi sambil menunjuk ke arah telaga yang
terlihat jelas dari ketinggian. Ya, sepintas lihat telaga ini memang
mirip dengan bentuk bayi katak. Sayang saya datang saat warga baru saja
panen sehingga tanah nampak gersang karena belum ditanami lagi.
Selain Bukit Sikunir, Telaga Cebong memang menjadi pesona wisata
sendiri di Desa Sembungan. Tak heran jika salah satu band indie yang
cukup terkenal di Indonesia, Float, terpesona dengan eksotisme telaga
ini sehingga menjadikannya sebagai lokasi konser Float2Nature tahun
lalu
.
Tak salah jika Float memilih Desa Sembungan sebagai lokasi konser
mereka yang mengusung tema kembali ke alam. Desa tertinggi di Pulau Jawa
ini tidak hanya memiliki lanskap alam nan eksotis dan udara bersih
bebas polusi, namun juga menjanjikan ketenangan jiwa yang bisa
didapatkan dari senyum ramah para petani kentang serta bocah-bocah kecil
yang ditemui di sepanjang jalan. Menyambut pagi di desa tertinggi Pulau
Jawa ini benar-benar memompa energi dan semangat saya untuk siap
menghadapi hari baru.
No comments:
Post a Comment