(TGC-Achievements) Perasaan cepat bosan menjadikan Agara Wijaya Subiyakto atau yang akrab disapa Jay Subiyakto selalu ingin sesuatu yang baru lagi. Otaknya yang penuh dengan ide brillian, ingin selalu menghadirkan pertunjukkan yang menarik untuk dilihat. Jay memiliki satu mimpi, agar hadir lebih banyak lagi orang-orang seni yang bisa membawa pentas Indonesia melewati putaran dunia.
Sore itu, jay terlihat tergesa melangkahkan kakinya menuju pintu luar Teater Jakarta, yang terlletak di Taman Ismail Marzuki. Ketika diajak berbincang, Jay terlihat santai. Namun pikirannya melayang pada konsep artistik yang digarapnya dalam pertunjukkan tersebut.
Ketika itu, Jay sedang sibuk mempersiapkan beberapa set panggung untuk drama musical Laskar Pelangi. Di sana, ia ditunjuk sebagai Artistic Director.
Dengan pakaian serba hitam dan rambut tergerai, ia mempersilakan Vibizlife untuk masuk dan ngobrol banyak mengenai kecintaanya terhadap dunia kesenian di Indonesia.
“Kesulitan terbesarnya adalah saya harus menerjemahkan film ke dalam drama musical, yang langsung bisa dilihat orang. tapi akhirnya dengan pergantian hampir 12 set, respon penonton ternyata bagus sekali.” tutur Jay membuka sua kami.
Dengan pakaian serba hitam dan rambut tergerai, ia mempersilakan Vibizlife untuk masuk dan ngobrol banyak mengenai kecintaanya terhadap dunia kesenian di Indonesia.
“Kesulitan terbesarnya adalah saya harus menerjemahkan film ke dalam drama musical, yang langsung bisa dilihat orang. tapi akhirnya dengan pergantian hampir 12 set, respon penonton ternyata bagus sekali.” tutur Jay membuka sua kami.
Kesuksesan Jay ternyata tak semulus jalan tol yang bebas hambatan. Berbagai kerikil tajam kerap mampir dalam kehidupannya.
Jika menengok ke belakang, Jay sempat menelan pil pahit karena idealisme karirnya harus ditentang sang ayah, R. Subiyakto yang amat dicintainya.
Lulus kuliah jurusan Desain Arsitektur dari Universitas Indonesia tahun 1987, Jay menolak keinginan ayah yang megnharapkan dirinya untuk sekolah lagi mengambil jurusan bisnis.
“Saya nggak mau, karena saya nggak bisa dagang. Buat apa buang uang, kalau saya menjalani sesuatu yang tidak saya suka. “ katanya ketika itu.
Akhirnya Jay dan ayah harus diam-diam an sekitar 8 tahun lamanya. Bukan hanya itu, Jay mengambil kuliah di jurusan arsitektur, hanyalah untuk menyenangkan hati sang ayah yang menginginkan anaknya menjadi insinyur.
“Pokoknya dia kecewa kenapa saya tidak jadi arsitek, walaupun saya kasih tahu kendalanya.” Kata Jay.
Menurut Jay, ketika dirinya lulus, arsitek Indonesia tidak dihargai oleh bangsanya sendiri. Semua gedung-gedung tinggi dibangun oleh arsitek luar. Dan itu bukan merupakan arsitek yang bagus. Akhirnya ia memilih untuk tidak menekuni itu.
Namun seiring berjalannya waktu, Jay kemudian bisa membuktikan keinginan terdalamnya untuk terjun di dunia seni, walaupun harus ditentang ayahnya.
Tahun 1994, Jay bersama Erwin Gutawa membuat sebuah terobosan yang belum pernah dilakukan oleh orang Indonesia. Ia membuat konser tunggal yang menghadirkan penyanyi local. Di zaman itu, banyak promoter menghadirkan konser-konser penyanyi luar.
“Saya kemudian berpikir, kenapa ya nggak ada yang mau menghadirkan penyanyi Indoensia. Akhirnya saya coba untuk membuat konser Chrisye. “
Walaupun banyak kendala, seperti cibiran banyak orang yang mengatakan,alm. Chrisye yang tak bisa berinteraksi dan bergaya di panggung, maka tidak aka nada yang mau menonton konsernya nanti, suami dari Elvara Jandini itu cuek saja.
Ia tetap menggarap konsep tersebut bersama Erwin. Tanpa diduga, tiketnya habis terjual. Alm Chrisye pun menjadi satu-satunya penyanyi yang mengadakan 3 kali konser tunggal di Jakarta Convention Centre.
Semenjak itu, tawaran makin mengalir deras kepada dirinya. Jay kemudian berada di balik megahnya konser Anggun, Rossa, D3VA, Ruth Sahananya, hingga Rockestra.
Dari situlah, hubungan dengan sang ayah mulai mencair. Akhirnya ayah Jay bisa menerima keinginanya untuk menjadi pekerja seni.
“Saya ini pengangguran”
Sebelum menjadi artistic director, Jay lebih dikenal sebagai sutradara. Banyak penyanyi mempercayakan video klipnya digarap olehnya. Beberapa diantaranya adalah Agnes Monica dan Bunga Citra Lestari.
Ayah dari Kaja Anjali tersebut juga banyak dipercaya sebagai director pagelaran konser para penyanyi yang ingin menyuguhkan konser tunggal.
Dalam konser tersebut, pekerjaan Jay ialah mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan konser di atas panggung supaya terlihat menarik.Mulai dari tata panggung, tata cahaya, hingga koreografi.
Selain itu, hobi fotografinya juga ia salurkan untuk menjadi konsultan fotografi di Majalah Harpers Bazaar Indonesia.
Beragam profesi dijalaninya. Ketika ditanya ingin fokus pada pekerjaan yang mana, Jay dengan santai menjawab, “ Saya bosan melakukan sesuatu yang sama, karena itu saya selalu ingin tantangan baru. Kalau ditanya apa profesi saya, sepertinya saya ini pengangguran. Nggak jelas.” Katanya sambil terbahak.
Jay lebih suka profesinya disebut sebagai pekerja seni. Dengan menjadi pekerja seni, apapun bisa dilakoninya. Mulai dari dunia fotografi hingga sinematografi.
“Saya belum sukses”
Tak hanya menyuguhkan rangkaian konser para penyanyi tanah air, Jay yang sangat cinta dengan Indonesia, ingin mengangkat budaya Indonesia bisa melaju ke pentas internasional.
Hal tersebut nampaknya sudah mulai dilakoninya. Ia membawa pementasan Matah Ati, yang bercerita tentang pertunjukkan wayang orang yang dikemas begitu cemerlang menuju berbagai negara.
Pertunjukkan itu mendapat sambutan yang cemerlang di Explenade Singapore. Tiketnya lagi-lagi sold out. Rencananya bulan Maret nanti, ia akan menggelar pertunjukkan tersebut keliling ke 11 negara.
“Indonesia itu maha dahsyat dengan segala ide dan kebudayaannya. Pertunjukkan Matah Ati bisa berhasil di Singapore, karena saya menyajikan apa yang menjadi budaya dan sejarah kita. Wayang Orang itu kan budaya kita. Kalau kita menyadari, dan mengemasnya dengan menarik, karya kita pasti akan diapreiasi. “ jelas Jay.
Tetapi yang menjadi hambatan, seringkali masyarakat Indonesia tidak menyadari hal tersebut. Kemudian, pengaruh-pengaruh luar menjadikan Indonesia kehilangan jati dirnya.
“Kalau saya menyajikan wayang orang ini di Indoensia, terus terang saja nggak akan laku. Tetapi karena biasanya bangsa ini lebih mengapresiasi pertunjukkan yang lebih dulu sukses di luar negeri,
karena itulah saya melakukan hal tersebut.” Katanya ketika ditannya mengenai alasan menyajikan Wayang Orang di negeri seberang.
Atas segala kesuksan yang diraihnya di belakang panggung, pria berkulit putih ini belum merasa sukses. Masih banyak lagi impian yang ingin diraihnya.
“Kalau kesuksesan itu kan orang lain yang menilai. Saya sendiri belum merasa sukses. Yang penting saya memberikan yang terbaik saja tentang seni dan budaya kita, sehingga akhirnya banyak generasi muda yang mendalami tradisi kita.” Katanya mengenai kesuksesannya.
Jay juga berharap ke depannya, akan lahir lagi sutradara baru di dunia pertunjukkan dan film. “Saya sih sudah tidak berambisi lagi. Yang terpenting ada generasi muda yang bisa meneruskan karir saya. “ katanya.
Anjing mengongong khafilah tetap berlalu. Mungkin itulah falsafah yang dianut oleh Jay Subiyalto dalam menjalani karir nya sebagai pekerja seni yang sukses di Indonesia.
Berbagai pertentangan yang terjadi untuk membesarkan keinginannya, ternyata tidaklah sia-sia. Semuanya bisa tercapai dengan berbagai usaha dan kemauan yang keras.
No comments:
Post a Comment